Contoh Jurnal Keanekaragaman Jenis Serangga Dengan Metode Perangkap Cahaya ( Light Trap )
Contoh Jurnal Keanekaragaman Jenis Serangga Dengan Metode Perangkap Cahaya ( Light Trap )
LABORATORIUM EKOLOGI UMUM
DEPARTEMEN
BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
BAB
1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Serangga
merupakan spesies organisme yang mendominasi kehidupan di bumi, yaitu terdiri
dari 1-4 juta spesies. Berbagai penelitian menyatakan bahwa makhluk hidup di
dunia ini terdiri dari 80% arthropoda dan 20% hewan selain arthropoda dan
manusia. Dari 80% arthropoda, 75% nya adalah serangga dan 25% adalah arthropoda
lain selain serangga. Ordo Coeloptera merupakan serangga dengan jumlah spesies
terbanyak dari seluruh kelompok serangga yang ada. Serangga merupakan hewan
purba, telah ada di bumi sejak 400 juta tahun yang lalu dan diketahui sebagai
hewan daratan pertama di bumi, kelompok mamalia berada di bumi ± 230 juta tahun
yang lalu, sedangkan keberadaan manusia modern baru muncul ± 1 juta tahun yang
lalu. Pengetahuan mengenai serangga pada masa lampau tidaklah lengkap,
kebanyakan hanya merupakan dugaan dan berdasarkan pada bukti-bukti secara tidak
langsung (Suputa dan Trisyono, 2004).
Penggunaan
perangkap warna berperakat merupakan suatu metode sederhana untuk mengetahui
ukuran relatif serangga dan untuk mendeteksi awal munculnya serangga. Metode
ini lebih efisien dibandingkan dengan metode satuan unit contoh, karena
perangkap langsung mengumpulkan serangga yang berada yang berada di sekitar
tanaman. Efisiensi perangkap dapat ditingkatkan dengan penggunaan umpan berupa
makanan maupun zat atraktan. Perangkap seperti ini dapat digunakan memonitor
populasi hama bahkan dalam tingkat kepadatan rendah ( Sihombing, 2008).
Mengingat
pentingnya peran fauna tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah dan
masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fauna tanah, perlu
dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Fauna
tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki keanekaragaman yang tinggi di dalam ekosistem yang tinggi
pula memerlukan bioindikator tanah (Matfuah, 2005).
1.2
Tujuan Praktikum
Adapun tujuan
praktikum ini adalah:
a. Untuk
mengetahui pengaruh perangkap cahaya yang diberikan terhadap hewan atau
serangga malam.
b. Untuk
mengetahui jumlah hewan yang ditemukan pada percobaan.
c. Untuk
mengetahui jenis-jenis hewan atau serangga malam yang ditemukan.
1.3
Manfaat
Praktikum
Adapun manfaat
praktikum ini adalah:
a.
Dapat mengetahui
pengaruh perangkap cahaya yang diberikan terhadap hewan atau serangga malam.
b.
Dapat mengetahui jumlah
hewan yang ditemukan pada percobaan.
c.
Dapat mengetahui jenis-jenis
hewan atau serangga malam yang ditemukan.
BAB
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Serangga
Serangga adalah
invertebrata beruas yang memiliki kerangka luar (eksoskeleton). Eksoskeleton
selain berfungsi sebagai penyangga tubuh, alat proteksi diri, dan tempat
melekatnya otot. Kulit serangga disebut integumen yang terdiri dari kutikula
dan lapisan epidermis. Kutikula merupakan lapisan tipis yang strukturnya sangat
kompleks yang terdiri dari epikutikula dan prokutikula. Epikutikula merupakan
lapisan terluar integumen dan merupakan lapisan yang tipis, sedangkan
prokutikula merupakan lapisan tebal yang terdiri atas eksokutikula dan
endokutikula (Suputa dan Trisyono, 2004).
Kelangsungan
hidup dari suatu makhluk hidup tergantung pada kemampuannya untuk
merasakan rangsangan luar dan bereaksi
dengan sesuai. Bermacam-macam mekanisme panca indra dan reaksi-reaksi dari pola
yang sederhana sampai dengan yang sangat rumit. Reaksi-reaksi terhadap lingkungan
semacam itu dapat secara fisiologis, kebutuhan untuk menyesuaikan diri dalam
kecepatan suatu proses metabolisme, atau secara perilaku, mencakup
perubahan-perubahan dalam orientasi tubuh atau pola-pola gerakan yang
sederhana. Reaksi-reaksi secara fisiologis tidak membutuhkan gerakan tubuh. Gerakan-gerakan
dan perubahan-perubahan dalam orientasi diperikan sebagai negatif jika mereka
secara langsung menjauhi sumber rangsangan tersebut dan positif jika langsung
menuju ke arahnya. Taksis adalah gerakan hewan-hewan menuju, menjauhi atau pada
sudut tertentu langsung ke arah rangsangan (Michael, 1994).
Serangga
merupakan organisme yang sangat melimpah keberadaannya dan mampu hidup dimana
saja, baik di darat maupun di air. Habitat serangga sangat bervariasi,
masing-masing spesies mempunyai kekhasan tempat hidup oleh karena itu perlu
dipikirkan metode penangkapan dan koleksi yang tepat untuk mendapatkan spesies
serangga yang diinginkan. Masing-masing metode dikembangkan untuk menangkap
serangga yang khas yang didasarkan pada perilaku dan habitatnya. Entomologi
adalah salah satu cabang ilmu zoologi yang mempelajari segala sesuatu mengenai
serangga (entomon adalah serangga; logos adalah ilmu) dan orang yang
mempelajari serangga bisa jadi berprofesi sebagai peneliti, guru, dosen, petani
dan bahkan para penghobi. Serangga hidup di semua habitat dan niche di bumi
ini, baik di darat maupun di perairan. Hal ini menunjukkan bahwa serangga
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat hebat terhadap lingkungan. Keberadaan
serangga hingga saat ini menunjukkan bahwa serangga adalah hewan yang sukses
hidup dengan adaptasi yang sangat hebat. adaptasi serangga ini didukung oleh
ukuran tubuh serangga yang kecil, mempunyai eksoskeleton, kecepatan reproduksi
yang tinggi, bermetamorfosis, mempunyai kemampuan terbang, serta memiliki
kemampuan mempertahankan diri baik terhadap cekaman lingkungan maupun terhadap
musuhnya (Suputa dan Trisyono, 2004).
2.2
Gerakan pada Serangga
Taksis merupakan
bentuk adaptasi perilaku yang paling sederhana. Tidak semua orientasi dapat
disebut taksis. Untuk suatu gerakan yang
dinamakan taksis, ia harus secara terus menerus diorientasi berhubungan dengan
rangsangan-rangsangan khusus. Taksis dikatakan sebagai dari arah
orientasi-orientasi dan gerakan (positif atau negatif) sesuai dengan
rangsangan-rangsangan alam (sebagai contoh rangsangan cahaya menghasilkan
fototaksis). Taksis dapat beranah dari pola-pola reaksi otomatis sederhana dan
halus sampai dengan perilaku yang rumit mencakup 2 atau lebih taksis. Orientasi
pada sebagian besar hewan merupakan hasil dari foto dan geotaksis. Jika
faktor-faktor lain turut campur dalam orientasi dasar tersebut, akan terjadi
kerumitan. Dalam mempelajari percobaan-percobaan, mungkin saja untuk
menyediakan taksis alami dengan memberikan kejutan secara elektrik pada hewan percobaan
tersebut, setiap saat ia akan bereaksi secara alami. Taksis-taksis sederhana
mudah diganggu oleh keterlibatan proses-proses lain (Michael, 1994).
2.3
Sejarah Serangga
Pengetahuan
mengenai keberadaan serangga pada masa lampau tidaklah lengkap, kebanyakan
hanya merupakan dugaan dan berdasarkan pada bukti-bukti secara tidak langsung.
Ada 4 sumber informasi utama yang bisa dijadikan dasar tentang keberadaan
serangga di masa lampau yaitu: (1) Fakta sejarah, (2) Fosil, (3) Hubungan
filogenetik, (4) Distribusi geografi. Serangga primitif (serangga tak bersayap)
muncul setelah tumbuhan perintis tercipta di daratan. Pada saat itu kira-kira
410 juta tahun yang lalu semua filum utama tumbuhan perintis dan hewan termasuk
arthropoda telah berkembang dengan baik. Pada saat itu sekitar 375 tahun yang
lalu kondisi udara dingin, basah, dan lembab sehingga kemunculan tumbuhan paku
yang sangat melimpah di darat. Setelah itu iklim menjadi hangat dan lembab
serta tercipta suatu kondisi lingkungan yang semakin kompleks sehingga
muncullah serangga yang bisa terbang (Suputa dan Trisyono, 2004).
2.4 Penangkapan Serangga
Metode Jerat dan Macam-Macam Jerat Serangga
Penjeratan jerat terdiri dari dua
jenis yang menangkap hewan secara acak dengan intersepsi, dan yang tertarik
kepadanya dalam berbagai cara. Kategori jerat yang kedua memungkinkan
terjadinya kesalahan. Sejumlah jerat dari kedua jenis, serta yang sedang, yang
menggabungkan intersepsi dan penarikan, diperikan. Yang mana pun atau gabungan
jerat ini dapat digunakan bergantung pada tujuan pengamatan. Jerat adalah tepat
guna bila kontras penyinaran ditandai. Sinar bulan atau penyinaran buatan
sekitarnya (sinar lampu atau sinar-sinar dari rumah-rumah tetangga) akan
mengurangi ukuran penangkapan. Intensitas sinar yang bertambah seringkali
menyebabkan pertambahan penangkapan. Serangga terbang yang lemah seringkali
lolos, karena mereka mampu mengubah geraknya, dan menghindari intensitas sinar
yang terlalu tinggi didekat sumbernya. Pencegah yang dipasang pada jerat
membantu untuk menangkap serangga-serangga seperti itu. Serangga yang terbang
lebih cepat dan lebih berat tidak dapat menghindari intensitas sinar yang tinggi pada saat terakhir dan
dengan demikian tertangkap didalam jerat. Ketinggian pemasangan jerat sinar
mempengaruhi penangkapan. Umumnya, makin tinggi jerat dipasang, makin kecil
penangkapan, karena rapatan aerial kebanyakan serangga akan menurun dengan
ketinggian (Michael, 1994).
Cahaya memiliki
pengaruh yang besar bagi hampir semua serangga dalam kemampuan bertahan hidup
dan berkembangbiak. Sebuah sistem visual berkembang dengan baik memungkinkan
serangga untuk segera dan langsung menanggapi rangsangan cahaya dari berbagai
jenis dalam pencarian mereka untuk makanan, pasangan, rumah, dan menghindari
bahaya. Penyinaran mempengaruhi organisme dalam dua cara: mungkin baik
menginduksi jangka pendek (diurnal) respon perilaku yang terjadi pada waktu
tertentu dalam siklus 24 jam, atau membawa jangka panjang (musiman) respon
fisiologis yang menjaga organisme selaras dengan perubahan lingkungan kondisi.
Organisme yang menunjukkan respon fotoperiodik dikatakan memiliki jam biologis.
Sifat yang tidak diketahui, meskipun dampaknya pada hewan sering terwujud
melalui perubahan aktivitas endokrin (Gillott, 1982).
Macam-macam
jerat yaitu: (1) Jerat lubang banyak digunakan sebagai peralatan pengumpul
untuk arthropoda penghuni permukaan seperti laba-laba, lipan, belalang, dan
serangga. Penangkapan semata-mata dengan jerat lubang tidak berguna dalam
penaksiran ukuran populasi, atau untuk perbandingan komunitas. Ketepatgunaan
jerat beragam dari spesies ke spesies dan dari habitat ke habitat. Jenis
spesies dan jumlah yang terjerat bergantung pada lokasi jerat, pada
ketersediaan pasokan makanan di sekitar jerat, jumlah uap air dalam tanah,
keadaan cuaca yang mempengaruhi perilaku hewan, dan perubahan-perubahan dalam
tingkat-tingkat sejarah kehidupan hewan. Tinggi mulut jerat, dan jumlah
permukaan tanah yang bebas tumbuhan di sekitar jerat akan mempengaruhi
penangkapan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dengan demikian, akan perlu
untuk mengambil pertimbangan mengenai irama aktivitas harian, keberadaan
musiman dan penyebaran vegetasi hewan dalam kaitannya dengan vegetasi pada saat
pemasangan jerat lubang. (2) Jerat sinar adalah penyinaran kuat yang
bertentangan dengan lingkungan gelap mempengaruhi orientasi fotik
serangga-serangga. Prinsip ini digunakan dalam jerat sinar untuk menangkap
serangga-serangga. Beragam jenis jerat sinar telah dirancang untuk mengumpulkan
krepuskular dan serangga yang terbang malam. Lampu-lampu parafin atau asitelin
digunakan dalam pola lama. Bola lampu listrik filamen wolfram, sinar ultra
lembayung, atau bola lampu sinar hitam digunakan dalam jerat-jerat modern. (3)
Jerat Rothamstead adalah bola lampu listrik unsur wolfram 200 W, di pasang pada
atap, dibawahnya jerat dipasang untuk mengumpulkan serangga. Wadah pembunuh
dilekatkan pada lantai kayu jerat. Meskipun atap mengurangi ukuran penangkapan,
ia mencegah air hujan masuk dalam jerat, yang dengan demikian dapat digunakan
dalam segala cuaca. (4) Jerat-jerat Robinson adalah sinar ultra lembayung
digunakan untuk menambah penangkapan Lepidoptera yang lebih besar. Tidak ada
atap diatas bola lampu yang dilindungi oleh sebuah kerucut tembus pandang. Kotak
tempat serangga-serangga dikumpulkan, dapat memiliki blok-blok plester paris
yang direndam dengan zat pembunuh, atau bila penangkapan dibutuhkan
hidup-hidup, blok-blok ini dapat diabaikan, dan papan-papan kayu yang direjam
menjadi potongan-potongan dapat diletakkan sebagai gantinya. Serangga-serangga
kemudian akan berlindung didalamnya. (5) Jerat penyedot adalah berbagai jenis
jerat penyedot dikembangkan untuk mengambil sampel udara (Michael, 1994).
2.5 Peranan Serangga yang
Penting bagi Manusia
2.5.1 Serangga bermanfaat
dan serangga netral
Serangga
bermanfaat dan serangga netral terdiri dari 90% dari keseluruhan serangga yang
ada dimuka bumi ini. Berbagai peran serangga bermanfaat adalah sebagai rantai
makanan dalam ekosistem, pengurai bahan organik, pembantu aerasi dalam tanah,
pembantu keseimbangan ekosistem dan konservasi hutan, penyerbuk tanaman, model
dalam ilmu pengetahuan, indikator lingkungan dan iklim, bahan baku industri,
makanan dan bahan inspirasi-seni.
2.5.2 Serangga yang
merugikan/sebagai hama
Serangga yang bersifat hama hanya
10% dari serangga yang ada di muka bumi meskipun peranan serangga ini menjadi
sangat penting bagi manusia karena telah mampu menyebabkan kerugian yang sangat
besar baik pada manusia secara langsung maupun pada tanaman serta pemukiman.
Serangga yang merugikan ini umumnya bersifat hama pada daerah pemukiman,
tanaman budidaya (hama tanaman maupun hama gudang), manusia (mengganggu secara
langsung), maupun sebagai vektor penyakit manusia, hewan, tumbuhan. Serangga yang merugikan dapat berupa hewan yang
mengganggu ekosistem yang berada dilahan pertanian masyarakat maupun yang
berada dilingkungan (Suputa dan Trisyono, 2004).
BAB
3
BAHAN
DAN METODE
3.1
Waktu dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Jumat, 4 November 2016 pada pukul 14.00 WIB sampai
dengan selesai bertempat di Laboratorium Ekologi Umum, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
3.2
Alat dan Bahan
Adapun alat yang
digunakan dalam praktikum ini adalah alat light
trap, pitting, colokan, lampu 45 watt, kabel listrik, spidol permanen,
plastik ukuran 10kg, karet gelang dan buku identifikasi. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah alkohol 70%.
3.3.
Metode Kerja
Ditentukan tiga
wilayah yang akan menjadi jebakan lokasi light
trap, dipasang lampu dengan intensitas cahaya sebesar 45 watt pada bagian
atas alat light trap. Setelah
terpasang, corong bagian bawah diberi jebakan kantung plastik yang berisi
alkohol 70%. Setiap tiga jam sekali jebakan diambil dan diamati jenis hewan apa
saja yang masuk ke dalam perangkap dan dimasukkan ke dalam plastik yang sudah
diberi label masing-masing wilayah. Dihitung jumlah masing-masing spesies dan
dicatat pada buku data. Dilakukan sebanyak tiga kali secara berotasi ditempat
yang berbeda.
BAB 4
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Tabel Data Hasil Pengamata Light Trap
No
|
Famili
|
Spesies
|
Stasiun 1
|
Stasiun 2
|
Stasiun 3
|
Total
|
1
|
Staphylinidae
|
Paederus littoralis
|
-
|
-
|
1
|
1
|
2
|
Cullicidae
|
Aedes sp.
|
-
|
1
|
-
|
1
|
3
|
Drosophilidae
|
Drosophila sp.
|
-
|
3
|
-
|
3
|
4
|
Tipulidae
|
Tipula sp.
|
1
|
1
|
-
|
2
|
5
|
-
|
Coleoptere
sp1.
|
-
|
-
|
1
|
1
|
6
|
-
|
Hymenoptera
sp1.
|
13
|
4
|
3
|
20
|
7
|
-
|
Homoptera
sp1.
|
-
|
-
|
1
|
1
|
Total
|
14
|
9
|
6
|
29
|
Berdasarkan Tabel 4.1 didapatkan bahwa spesies yang paling banyak ditemukan
adalah dari ordo Hymenoptera sp 1,
dimana spesies tersebut ditemukan di tiap masing-masing stasiun dengan jumlah 20 buah. Dan spesies yang
paling sedikit ditemukan adalah Paederus littoralis
sp 1, Aedes
sp. , Coeloptera sp 1, dan Homoptera sp 1, dimana spesies
tersebut hanya ditemukan pada salah satu stasiun dengan jumlah 1 buah.
Menurut
Latip (2015), komunitas yang keanekaragamannya rendah satu atau dua spesies
dapat menjadi dominan. Sebaliknya pada pengamatan arthropoda tajuk yang diaplikasi
menunjukkan pengaruh aplikasi insektisida terhadap penurunan jumlah famili dan
jumlah populasi. Pada pengamatan arthropoda permukaan tanah, H’ tertinggi pada
awal pengamatan dan mulai menurun sampai akhir pengamatan. Perubahan
arthropoda, Indeks Keanekaragaman dan Kemelimpahan terjadi sejalan perkembangan
fase tumbuh tanaman sebagai habitatnya. Hal ini disebabkan semakin tua tanaman,
populasi dan komposisi arthropoda makin menurun, karena kondisi habitatnya
menjadi kurang cocok, sehingga banyak serangga berpindah ke habitat baru atau
mati bila gagal beradaptasi. Secara umum keanekaragaman berbagai spesies
cenderung lebih rendah pada pertanaman agroekosistem, karena terganggu oleh
adanya aktivitas manusia dibanding pertanaman vegetasinya masih alami yang
masih terjaga.
4.2 Tabel Perhitungan Data Hasil Pengamatan Light Trap
No
|
Famili
|
Spesies
|
K
|
KR
|
FK
|
H’
|
1
|
Staphylinidae
|
Paederus littoralis
|
0,0011
|
3,4482%
|
33,33%
|
1,1422
|
2
|
Cullicidae
|
Aedes sp.
|
0,0011
|
3,4482%
|
33,33%
|
|
3
|
Drosophilidae
|
Drosophila sp.
|
0,0033
|
10,3448%
|
33,33%
|
|
4
|
Tipulidae
|
Tipula sp.
|
0,0022
|
6,8965%
|
60,67%
|
|
5
|
-
|
Coleoptere
sp1.
|
0,0011
|
3,4482%
|
33,33%
|
|
6
|
-
|
Hymenoptera
sp1.
|
0,0220
|
68,9655%
|
100%
|
|
7
|
-
|
Homoptera
sp1.
|
0,0011
|
3,4482%
|
33,33%
|
Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan bahwa spesies yang memiliki nilai Kerapatan,
Kerapatan Relatif dan Frekuensi Kerapatan
yang tertinggi adalah spesies Hymenoptera sp
1 yaitu
secara berurutan memiliki nilai 0,0220,
68,9655%, dan 100%. Dan yang
memiliki nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif dan Frekuensi Kerapatan yang terendah adalah
spesies Paederus littoralis,
Aedes sp , Coeloptera sp 1, dan Homoptera sp 1, yang
masing-masingnya memiliki nilai yang sama yaitu secara berurutan memiliki nilai
0,0011, 3,4482%, dan 33,3%.
Menurut Michael (1994), untuk memperkirakan rapatan absolut suatu
populasi sering tidak memungkinkan. Dalam hal ini, diperlukan pengetahuan
mengenai rapatan relatif populasi. Rapatan relatif adalah angka banding dimana
suatu populasi melebihi populasi lainnya dalam rapatan. Dalam pengukuran
seperti itu, ukuran populasi sebenarnya dapat di buat bila fluktuasi dalam
ukuran populasi pada selang waktu tertentu di pelajari. Semua cara untuk
pengukuran rapatan relatif bergantung pada pengumpulan sampel yang harus memiliki
pemikiran tetap mengenai hubungannya terhadap ukuran populasi tersebut.
Menurut Sihombing (2013), penggunaan perangkap warna berperekat
merupakan suatu metode sederhana untuk mengetahui ukuran relatif serangga dan
untuk mendeteksi awal munculnya serangga. Metode ini lebih efisien dibandingkan
dengan metode satuan unit contoh, karena perangkap langsung mengumpulkan
serangga yang berada disekitar tanaman. Efisiensi perangkap dapat ditingkatkan
dengan penggunaan umpan berupa makanan maupun zat atraktan. Perangkap seperti
ini dapat digunakan memonitor populasi hama bahkan dalam tingkat kepadatan
rendah.
BAB V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah:
a. Pengaruh perangkap cahaya yang
diberikan terhadap hewan atau serangga malam adalah untuk menarik perhatian
hewan atau serangga malam (nokturnal) yang menyukai cahaya lampu, sehingga
serangga tersebut terperangkap dalam suatu plastik yang telah berisi alkohol
70%.
b. Jumlah hewan yang ditemukan dalam
percobaan adalah 9 spesies serangga malam yang berbeda.
c. Jenis hewan atau serangga malam yang
ditemukan adalah Macrotermes gilvus,
Culex sp., Anopheles sp., Monomorium sp., Hymenoptera sp 1,
Coeloptera sp 1, Coeloptera sp 2, Coeloptera sp 3, Orthoptera sp 1.
5.2
Saran
Adapun
saran dalam praktikum ini adalah:
a. Sebaiknya praktikan lebih memahami
prosedur kerja agar praktikum berjalan lancar.
b. Sebaiknya praktikan harus lebih
teliti dalam mengidentifikasi sampel yang
telah didapat.
c. Sebaiknya stasiun yang dipergunakan
dalam praktikum diperbanyak agar jenis serangga malam yang didapat lebih
banyak.
DAFTAR
PUSTAKA
Gillott, Cedric. 1982. Entomology. New York and London: Plenum
Press.
Latip, D., Pasaru, F., Hasriyanti. 2015.
Keanekaragaman Serangga Pada Perkebunan
Kakao (Theobroma cacao L.) Yang
Diaplikasi Insektisida dan Tanpa Insektisida. Vol 3 (2).
Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta:
UI Press.
Sazali, Munawir. 2015. Identifikasi Fauna Tanah Pada Areal
Pascapenambangan Tanah Urugan Sebagai Reklamasi Lahan Pertanian di Desa Lendang
Nangka Provinsi Nusa Tenggara Barat. Vol 7 (2).
Sihombing, S.W., Pangestiningsih Y.,
Tarigan M. U. 2013. Pengaruh Perangkap
Warna Berperekat Terhadap Hama Capside (Cyrtopeltis
tenuis Reut) (Hemiptera : Miridae) Pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.). Vol 1 (4).
Suputa dan Trisyono, Y. A. 2004. Buku Ajar Entomologi Dasar. Yogyakarta:
Penerbit UGM.
Tidak ada komentar: